Belajar Dalam Mengajar



"Sekolah harus memberi manfaat untuk kehidupan, untuk saat ini, bukan di masa depan. Karena jika kita memelihara hari ini, kita memelihara masa depan"              Orang Rimba


Merdeka Belajar merupakan sebuah gagasan di mana guru sebagai pemimpin pembelajaran, membawa peserta didik ke dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan dan lebih bermakna bagi kehidupan mereka. 

Untuk dapat mencapai kemerdekaan belajar, seorang guru terlebih dahulu harus belajar bagaimana cara menjadi guru yang seharusnya. Inilah yang akan saya bagikan pada artikel kali ini tentang panduan menjadi guru merdeka belajar di tengah pandemi. Artikel ini disarikan dari Kegiatan Kuliah Umum Pembatik Level 4 bersama narasumber Kak Butet Manurung dengan moderator Ibu Restyn Yusuf sebagai Duta Rumah Belajar Papua . 

Belajar Dalam Mengajar, Versi Kak Butet Manurung 

Kak Butet pertama kali masuk ke Rimba Bukit Duabelas Jambi pada tahun 1999 sebagai seorang antropolog yang meneliti masyarakat adat orang rimba yang merupakan peburu peramu, Kak Butet ingin menggali model pendidikan seperti apa yang mereka (Orang Rimba) butuhkan. Dalam perjalanannya, Kak Butet menemukan beberapa hal menarik terkait paradigma pendidikan, yaitu : 

Cara pandang / perspektif : Pintar dan bodoh itu tergantung siapa yang bicara dan di mana kita berada. Contoh pengalaman saat Kak Butet dikejar beruang dan tak bisa naik pohon karena pakaian dan sepatunya tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Maka anak Rimba mengatakannya bodoh karena sudah tinggal bertahun - tahun di hutan, tapi belum bisa panjat pohon. 

Ada sekolah kontekstual di Rimba. Anak - anak dari kecil sudah belajar tentang hal yang kontekstual. Contoh : anak belajar menangkap hewan kecil dengan ketapel atau jerat. Di sekolah ini ada 3 metode belajar : observasi, bermain, dan eskplorasi. Sistem pendidikan lokal tidak mengenak kelas seperti di sekolah formal, tetapi mengenal tingkatan. Tingkatan 1 : berburu hewan kecil seperti tikus, tingkatan 2 : berburu ular, tingkatan 3 : mengambil madu di pohon yang tingginya mencapai 100 meter. Hal tersebut, menurut Kak Butet sudah konstektual karena apa yang mereka pelajari sudah sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari - hari. 

Dari temuan - temuan di atas, Kak Butet berpikir, seperti apakah pembelajaran yang harusnya ia berikan kepada mereka. Karena ternyata mereka sudah melakukan pembelajaran kontekstual. Dalam kebersamaannya hidup bersama dengan Orang Rimba, Kak Butet justru menemukan fakta baru yaitu kondisi sebenarnya yang merupakan masalah - masalah dari luar yang  dihadapi oleh Orang Rimba itu sendiri, dan ternyata masalah tersebut masih tidak bisa diatasi oleh sistem pendidikan konstektual yang telah mereka lakukan. 

Contohnya ketika pada tahun 1980 an, puncak pembangunan REPELITA mengakibatkan terjadinya konversi besar - besaran area hutan tempat hidup Orang Rimba. Di sinilah Kak Butet mencoba masuk dengan mengajarkan baca dan tulis. Namun upaya ini ditolak berkali - kali oleh Orang Rimba, karena hal ini dianggap tabu. Bahkan mereka menyebut pena adalah Setan Bermata Runcing. Karena setiap kali mereka berhubungan dengan orang yang punya pensil / pena maka akan selalu sial. Penolakan ini menyebabkannya harus berpindah - pindah selama 7 bulan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. 

Kak Butet terus berproses. Ia memutar otaknya, merefleksi apa yang masih salah dan akhirnya, ia mencoba melakukan pendekatan baru, dengan berupaya menjadikan dirinya sebagai teman mereka, bukan menjadi musuh bagi mereka. Kemudian Ia menunjukkan bahwa baca tulis ini berguna. Namun, ternyata baca tulis saja tidak cukup menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. 

Dari situlah muncul awal pemikiran tentang Sokola. Tepatnya ketika pendidikan yang diberikan tidak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. 

Metode hadap masalah 

Kak Butet menemukan metode baru yang dirasakan lebih efektif bagi Orang Rimba. Ia menyebutnya metode hadap masalah. Ia menyadari bahwa sekolah mereka adalah bagaimana melawan setan bermata runcing. Sehingga Ia menghadirkan konteks ke dalam konten pembelajarannya. Contoh : Ada berapa ekor rusa di hutan ? Mengapa berkurang ? Mengapa hutan tinggal sedikit ? 
Ia berharap dengan penerapan metode pembelajaran seperti ini, peserta didik akan lebih memahami pentingnya belajar. 

Sebenarnya ada banyak sekali teori terkait pendidikan. Namun hal yang paling dekat dengan tujuan pendidikan itu sendiri, sebenarnya merupakan sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh setiap pendidik. Dalam melaksanakan pendidikan bagi Orang Rimba, Kak Butet sendiri mempunyai kepercayaan bahwa setiap masyarakat bukanlah entitas kosong atau tidak berdaya. Siswa sudah mempunyai bekal kemampuan dan pengetahuan. 

Sebaliknya, menurut Kak Butet, sistem pendidikan yang diberikan di sekolah formal belum mampu mengakomodir semua keunikan dari peserta didik. Dan sistem pendidikan seperti itu dianggap tidak operasional bagi mereka. 

Alasan sekolah formal tidak operasional bagi orang rimba : 
  1. Sekolah formal mengajarkan kemampuan yang sesuai dengan kondisi/potensi sekitarnya. Orang Rimba ingin pembelajaran itu berdampak saat ini segera setelah proses belajar
  2. Sekolah formal tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang dinamis di alam bebas 
  3. Sekolah formal tidak (ajar) mengatasi persoalan kehidupan dan perubahan sekitar peserta didik (setan bermata runcing) 
  4. Sekolah formal tidak (belajar) merespon persoalan kehidupan dan perubahan sekitar anak (setan bermata runcing) Contoh : belajar cara penanggulangan banjir di sekolah 
  5. Sekolah formal tidak mengakomodasi nilai dan kebenaran versi lokal
  6. Sekolah formal adalah sekolah untuk pergi. Karena ilmu yang dipelajarinya tidak sesuai dengan konteks realitas yang ada di sekitarnya. 

Berkaitan dengan kepercayaan bahwa siswa bukanlah kertas kosong, Kak Butet merumuskan sikap Humility (kerendahan hati) sebagai sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru harus mempunyai kerendahan hati. Makna pendidikan adalah membebaskan. Mengeluarkan dari permasalahan. Dalam hal ini, guru punya tanggung jawab sosial selain mengajar yaitu belajar. Mengajar itu  sarana pendidikan, bukan tujuan! 

Implementasi pembelajaran literasi 

Pernahkah guru merasa kesulitan mengajarkan cara membaca pada siswa kelas rendah ? Terlebih pada siswa yang berada di sekolah 3T yang didominasi oleh penggunaan bahasa lokal dibandingkan Bahasa Indonesia ? 

Tips berikut ini akan membantu kita untuk melakukan pembelajaran terkait literasi dengan lebih menyenangkan dan bermakna: 
  • Menghargai keunikan pemerolehan bahasa. Kita punya banyak sekali bahasa dan simbol yang istimewa. Hal itu merupakan sesuatu yang unik. Jenis makanan dan kondisi geografis akan turut mempengaruhi pelafalan huruf. Jika anak merasa kesulitan belajar membaca, sebenarnya itu bukanlah sebuah kesalahan. Melainkan sebuah keunikan yang harus dihargai. Guru perlu menentukan metode yang tepat untuk membelajarkannya. Berikut ini adalah metode silabel sokola yaitu 16 metode baca tulis  yang diterapkan dalam waktu 2 minggu:
  • Mengajarkan kesadaran kritis dan kepekaan sosial sejak dini, contoh : mengajarkan baca tulis dengan mengangkat topik penyakit malaria yang menjadi wabah di daerah tersebut. 
  • Menerapkan literasi dasar dalam keseharian (literasi terapan). Contoh : soal cerita matematika tentang uang. 

Praktik Baik Merdeka Belajar ala Orang Rimba 

Selain implementasi pembelajaran literasi, Kak Butet juga melakukan upaya - upaya lain untuk mendukung Sokola, sistem pendidikan yang diyakini olehnya akan memberikan dampak baik bagi Orang Rimba, yaitu : 
  1. Melibatkan para pemuka adat supaya memastikan pembelajaran secara tradisional juga berlangsung. Kegiatan ini disebut wawasan kerimbaan.
  2. Wawasan dunia luar. Pembelajaran relevan, misalnya membuat film dokumenter terkait kehidupan mereka sehari - hari. Hal ini akan lebih bermanfaat bagi mereka dalam rangka mempertahankan kearifan lokal dan mengedukasi dunia luar melalui cara hidup mereka yang sangat harmonis dengan alam sekitar. 
  3. Pendidikan yang mendukung advokasi. Mengakses kesehatan, jalur hukum untuk mempertahankan haknya. Hal ini merupakan pengembangan lanjutan dari pengetahuan yang sudah mereka pelajari sebelumnya. 
  4. Membentuk kader dan pengorganisasian. Ditujukan bagi siswa yang memiliki kemampuan lebih. 
  5. Menyambungkan mereka dengan jaringan atau pihak yang relevan
  6. Pastikan guru menghargai keberagaman/sudut pandang lokal. Gunakan bahasa lokal untuk mengajar bahasa tulis. Penyeragaman kurikulum dan tolak ukur akan menyebabkan penyeragaman kecakapan. Tuntuan dengan lokasi yang tidak match akan mendorong mereka untuk melakukan urbanisasi karena ilmunya hanya bisa diterapkan di kota. 


Kurikulum Sokola Rimba 


Kurikulum Sokola Rimba disusun oleh sekolah bersama masyarakat. Jika akhirnya masyarakat sudah memiliki dan mampu mengembangkan kurikulum ini, maka Sokola akan menghentikan intervensi dan memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengembangkannya sendiri. 

Message / Pesan yang ingin disampaikan : 

  • Pendidikan kontekstual adalah kunci. Jangan sampai sekolah menjadi sekolah untuk pergi. Dan bawalah konteks yang ada di situ membentuk konten dari kita, bukan sebaliknya konten yang kita bawa membentuk konteks masyarakat yang ada di situ. 
  • Pendidikan harus konstektual berdampak, artinya berkontribusi dalam kehidupan. Orang Rimba bertanya "Sungai di Jakarta kok kotor? bukannya Orang di Jakarta sekolah semua? " "Pintar fisika tapi gak bisa benerin setrika rusak, itu aneh.""Kenapa justru di depan sekolahan banyak plastik, bukankah plastik itu buruk untuk lingkungan?" 





Sumber : Klik di Sini




Belum ada Komentar untuk "Belajar Dalam Mengajar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel